Jalan Cinta Para Pejuang
Di sana, ada cita dan tujuan
Yang membuatmu menatap jauh ke depan
Di kala malam begitu pekat
Dan mata sebaiknya dipejam saja
Cintamu masih lincah melesat
Jauh melampaui ruang dan masa
Kelananya menjejakkan mimpi-mimpi
Lalu di sepertiga malam terakhir
Engkau terjaga, sadar dan memilih menyalakan lampu
Melanjutkan mimpi indah yang belum selesai
Dengan cita yang besar, tinggi dan bening
Dengan gairah untuk menerjemahkan cinta sebagai kerja
Dengan nurani, tempatmu berkaca tiap kali
Dan cinta yang selalu mendengarkan suara hati
Teruslah melanglang di jalan cinta para pejuang
Menebar kebajikan, menghentikan kebiadaban, menyeru pada iman
Walau duri merantaskan kai, walau kerikil mencacah telapak
Sampai engkau lelah, sampai engkau payah
Sampai keringat dan darah tumpah
Tetapi yakinlah, bidadarimu akan tetap tersenyum di jalan cinta para
pejuang
-Mencintai
Sejantan Ali-
Ada rahasia terdalam di
hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya,
puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Ia tak tahu apakah rasa
itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar
kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan
paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan
harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak
diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah
mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia
dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin
justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan
pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr
menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan
beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah
juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan
saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman,
’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini
yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah
berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr;
Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang
dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih
bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah
persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku,
aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta
untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah
keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa
waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang
sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk
mempersiapkan diri.
Ah,
ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar
Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang
sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah
bertekuk lutut. ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran
dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar
memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi
siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya
untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang
hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih
dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang
bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk
bersama Abu Bakr dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi
ayah Fathimah.
Lalu
coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali
menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi
karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya
berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari
bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah
berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai
Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa
yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung
tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar
adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam
pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi
Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Mencintai tak berarti harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk
kebahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia
mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.
Maka
’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu
macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder
kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn
Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu
Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin
hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin
mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d
ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn
’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa
bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan
lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat,
engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”,
tanyanya tak yakin.
”Ya.
Engkau wahai saudaraku!”
”Aku
hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami
di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali
pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya
keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak
ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana
ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau
tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di
batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua
sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul
resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya
berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa
dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun
bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu
resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang
tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa
pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana
jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa
maksudmu?”
”Menurut
kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar
tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah
cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan
kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan
’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang
semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar
cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu
Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan
janji-janji dan nanti-nanti. ’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau
pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali
Ali!”
Inilah
jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan
dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah
pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan bagi pencinta sejati, selalu ada
yang manis dalam mencecap keduanya.
-Pengorbanan
Cinta Salman-
Salman
Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya
sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya.
Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan
yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilihan menurut perasaan
yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi
bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya.
Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa,
dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis
pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus
ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam
khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang
dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.
”Subhanallaah.
. wal hamdulillaah. .”, girang Abu Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum
bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah
kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah
dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya
adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorangPersia. Allah
telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan
amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah
Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli
bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk
dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling
murni.
”Adalah
kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, sahabat
Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan
seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya
saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang
di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan
kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang
bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan
mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman.
Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami
telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas
sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri
lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan
ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman.
Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat
dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang
kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya.
Mari kita dengar ia bicara.
”Allahu
Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku
serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!” ???
Cinta
tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam
kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di
tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah
memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasadikhianati’-, merasa berada di
tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan
kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada
Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi
yang tak mudah.
Sergapan
rasa memiliki terkadang sangat memabukkan.. Rasa memiliki seringkali membawa
kelalaian. Kata orang Jawa, ”Milik nggendhong lali”. Maka menjadi seorang
manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan
milik kita, sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami.
Inilah sulitnya. Tak seperti seorang tukang parkir yang hanya dititipi, kita
diberi bekal oleh Allah untuk mengayakan nilai guna karuniaNya. Maka rasa
memiliki kadang menjadi sulit ditepis..
Subhanallah
kisah yg indah..^_^
Semoga
kita bisa mengambil hikmahnya!
Source:
Buku “Jalan Cinta Para Pejuang” Karya Salim A. Fillah
Ungkapan Qalb